Skip to main content

Peucang, Surga di Ujung Barat Pulau Jawa (Bagian 3)


Hari kedua di ujung barat Jawa diisi dengan kegiatan wisata sambil menapaki sejarah. Pagi itu sunrise di Pulau Peucang tidak terlalu bikin gereget namun membuat nyaman untuk jalan-jalan di sekitar pantai. Udara paginya sejuk dan sedikit kabut tipis terlihat mengambang di udara. Airnya tenang dan putih bening, tidak berwarna toska ataupun biru laut. Ini juga yang mengherankan, warna air laut di sini bisa berubah-ubah. Bahkan jika hujan deras setelahnya air bisa berubah warna menjadi keruh agak kecokelatan.

Selepas sarapan di kapal, seharusnya saya beserta rombongan menyeberang ke Pulau Handeuleum untuk canoeing di Sungai Cigenter. Namun dikarenakan kondisi canoe yang rusak akibat diterjang tsunami Desember 2018 lalu, akhirnya kami menyeberang dan menyambangi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Hal yang kami lakukan setibanya di sana yaitu trekking dengan tujuan utama Tanjung Layar, titik nol kilometer Pulau Jawa.

Taman Nasional Ujung Kulon

Untuk sampai ke Tanjung Layar melalui jalur darat, kami disuguhi hutan TNUK dengan jalan setapak bermedan licin hingga genangan air setinggi betis, juga berbagai jenis tumbuhan dari yang sudah familiar sampai yang masih sangat asing untuk mata. Namun kami tidak menemukan hewan aneh atau menyeramkan satupun seelama trekking yang memakan waktu kurang lebih 2-3 jam pulang pergi tersebut. Padahal TNUK dikenal sebagai rumah bagi hewan-hewan liar eksotis dan bahkan bagi hewan yang terancam punah, seperti Badak Jawa. Hanya kicauan burung, teriakan monyet dan deburan ombak yang terdengar di sepanjang perjalanan. 

Di sekitar Tanjung Layar terdapat bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang meskipun tidak begitu utuh berdiri, namun jelas memperlihatkan bahwa penjajah pernah ke sini dan membangun benteng untuk pertahanan mereka. Adanya wabah penyakit malaria yang menyerang para pekerja rodi menyebabkan tidak pernah selesainya pangkalan perang tersebut. Namun tangga batu bata menuju mercusuar Belanda, bangunan bekas penjara dan bahkan katanya di kawasan ini terdapat kuburan-kuburan sejak zaman penjajah, benar-benar memilukan hati.

Namun sesampainya di Tanjung Layar, mata dimanjakan untuk menikmati gugusan karang besar dengan pemandangan Samudera Hindia dan Selat Sunda. Deburan ombak yang menghujam karang dan menciptakan efek percikan air, memberikan kesegaran di tengah menyengatnya matahari yang mulai meninggi merangkak ke atas kepala.

Tanjung Layar

Sekembalinya dari Tanjung Layar - TNUK, kami bergegas ke penginapan untuk check out dan pulang. Di perjalanan pulang, teman-teman satu rombongan banyak yang memilih untuk tidur di dalam kabin kapal karena kelelahan. Saya dan suami memilih untuk makan siang, karena memang tinggal kami berdua yang belum makan. Kondisi cuaca saat itu kembali berawan kelabu, membuat laut dan hujan rintik-rintik kembali beradu. 

Di perjalanan pulang, kami sengaja melintasi Pulau Badul. Pulau sangat kecil dengan hamparan pasir putih dan air laut biru mengelilinginya. Pulau dengan bawah laut yang cantik dan terdapat patung badak di taman lautnya. Seharusnya kami snorkeling di sini pada hari kedua untuk mengeksplor keindahannya. Namun, lagi-lagi karena bencana tsunami Desember 2018 lalu, kami harus melepas keinginan tersebut dan mengkhidmatkan diri dengan doa, semoga Tuhan senantiasa merengkuh kita semua dalam lindungan-Nya. Bencana bisa ada di mana saja, tidak hanya di Banten atau Selat Sunda, tidak hanya di Aceh, tidak hanya di Palu. Maka berdoalah senantiasa kepada-Nya dan berbaik hatilah selalu pada alam, agar tidak datang murka-Nya.

Pulau Badul


Demikian perjalanan saya ke surga di ujung Pulau Jawa. Silakan baca juga tentang perjalanan bagian pertama dan bagian kedua sebelumnya. Setelah ini, tamasya ke mana lagi ya?

-Filia-

Comments

Popular Posts

Drunken Series

UNO