Skip to main content

Our Journey in "Kota Angkringan"

Beberapa minggu lalu (Sabtu-Senin, 26-28 Mei 2012) saya dan beberapa teman kampus mendapat kesempatan menghabiskan akhir pekan di Kota Angkringan. Mungkin banyak yang sudah tidak asing dengan sebutan Kota Angkringan ini, tapi mungkin ada juga yang belum tau di mana letaknya kota ini. FYI, Kota Angringan yang saya maksud adalah Yogyakarta atau sering disebut juga Jogja. Loh, bukannya Jogja itu kota pelajar? Eits, jangan salah, sekarang Jogja dikenal juga sebagai Kota Angkringan. Angkringan berasal dari bahasa Jawa 'angkring' yang berarti duduk santai. Angkringan di sini berarti gerobak yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang terdapat di berbagai pinggir ruas jalan di Jogja, seperti Jalan Malioboro dan Jalan Pangeran Mangkubumi. Biasanya angkringan ini beratap terpal, beralaskan tikar dan beroprasi mulai sore hingga larut malam. Makanan dan minuman yang dijual bervariasi, mulai dari gorengan, sate usus, sate keong hingga wedang jahe dan kopi joss.

Perjalanan ke Jogja yang rencananya ingin dilakukan bulan Juni ini akhirnya terlaksana lebih awal, karena Juni menjadi bulan yang padat bagi kami. Ya, padat karena Ujian Akhir Semester (UAS), padat kegiatan himpunan untuk menyambut mahasiswa baru dan padat jadwal Semester Padat (SP) yang benar-benar padat. Maka ditetapkanlah akhir Mei sebagai waktu untuk berpetualang ke Kota Angkringan.

Berangkat menggunakan kereta dari Stasiun Bandung hari Jumat, 25 Mei 2012 pukul 15.30 dan sampai di Stasiun Tugu Jogja tengah malam, yang berarti sudah memasuki hari Sabtu. Selama perjalanan, banyak hal yang menarik perhatian saya, terutama pemandangan alam di luar kereta yang luar biasa indah menjalang sunset. Jujur, ini pertama kalinya pengalaman saya naik kereta. Jadi agak sedikit asing dengan berisiknya roda kereta yang bergesekan dengan rel kereta dan merasakan sensasi naik kereta yang ternyata asik. Perjalanan Bandung-Jogja ini kami isi dengan kegiatan yang membuat kereta gaduh, seperti bermain Kartu UNO, melawak, makan bersama, berfoto-ria, hingga menggosipkan orang-orang di dalam kereta menggunakan bahasa Jerman. Sisanya kami gunakan waktu untuk tidur.

Sesampainya di Jogja, kami luntang-lantung di sepanjang Jalan Malioboro. Pasalnya, kami mereservasi penginapan dari tanggal 26 Mei yang berarti baru bisa check-in pukul 13.00 dan lokasinya jauh dari Stasiun Tugu. Bingung harus menghabiskan waktu sebanyak 12 jam itu di mana, apalagi saat itu tengah malam, akhirnya kami mengikuti saran seorang tukang becak untuk menyewa kamar di hotel murah di Jalan Suryatmajan, tidak jauh dari Malioboro.

Day 1

Paginya, setelah sarapan dan tubuh sudah oke untuk kembali diajak berpetualang, kami check-out dan kemudian bertolak menuju Keraton Yogyakarta untuk jalan-jalan sambil mengenal sejarah. Beruntung, ayah dari seorang teman kami punya kenalan di Jogja ditambah diantara kami ada yang sudah expert menyetir mobil dan mengenal jogja, kami pun puas mengeksplor Jogja selama tiga hari menggunakan mobil pinjaman. Dari keraton, kami pun berjalan menuju Keben. Setelah puas menjepret beberapa hal menarik, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan yang tidak jauh dari kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Selepas ashar, perjalanan kami lanjutkan menuju Pantai Depok Parangtritis yang membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dari penginapan. Sore itu, agenda kami memang berburu sunset di pantai. Tidak banyak yang dilakukan di sana selain berfoto, berlari dan bermain dengan ombak karena waktu juga sudah memasuki maghrib dan perut mulai meminta jatah bensin malam. Sekitar pukul tujuh, kami melanjutkan perjalanan menuju Alun-alun Kidul. Sayangnya kondisi di sana sudah macet, padat dan sulit mendapat tempat parkir. Akhirnya kami pun menyerah dan memutuskan untuk berwisata kuliner saja. Tanpa banyak berdebat, mobil pun melaju menuju Jalan Ahmad Dahlan. Malam itu kami habiskan di sana, di tempat lesehan, menyantap Oseng-oseng Mercon Bu Ria yang super lezat dan mengobrol hingga lelah kemudian kembali ke penginapan untuk tidur.


Day 2

Minggu, 27 Mei 2012. Well, salah satu teman mulai tadi malam dan seterusnya tidak bisa melanjutkan petualangannya bersama kami karena sudah ada janji dengan temannya yang kuliah di Kota Angkringan itu. Padahal dia yang lebih banyak tau tentang Jogja dibanding kami. Kami memang memiliki banyak teman yang tinggal di sini. Beruntung, diantara kami ada yang salah satu temannya bersedia ikut berpetualang dan menjadi tour guide hari itu.

Menjelang siang, petualangan kami lanjutkan menuju wisata alam di daerah Kaliurang, tepatnya Gunung Merapi. Karena terlalu asik "karaoke bersama" di dalam mobil, jadi lupa berapa jam lamanya waktu yang kami butuhkan dari penginapan menuju lokasi Merapi. Dari tempat parkir di daerah Merapi ini, kami mulai berjalan kaki mendaki jalan beraspal yang memang bisa ditempuh dengan mobil jeep dan motor khusus yang saya lupa namanya. Pendakian terhenti di halaman rumah Almarhum Mbah Marijan. Di sini banyak sekali bukti otentik yang bisa menjadi bukti sejarah beberapa tahun ke depan terkait letusan Gunung Merapi tahun 2010 silam, diantaranya motor dan mobil reporter televisi yang telah hangus. Bisa saya katakan, halaman rumah beliau ini tampak seperti museum di alam terbuka. Apa yang kami lakukan di Merapi ini? Tidak banyak. Hanya mendaki sambil mengobrol, menjepret pemandangan yang benar-benar luar biasa keren, melihat-lihat puing-puing bangunan sisa letusan, menikmati pemandangan dari Kinahrejo dan meresapi dahsyatnya alam Indonesia. Cukup lama waktu yang kami butuhkan di sana hingga akhirnya kembali ke parkiran pukul 13.30.

Dari Sana, kami melanjutkan perjalanan menuju Jalan Wijilan. Tau dong apa yang dicari kalau ke sini. Ya, Gudeg khas Jogja. Late Lunch menikmati Gudeg Yu Djum yang manis sambil beristirahat. Lokasinya yang tidak jauh dari Kampus Universitas Gajah Mada (UGM), membuat kami membelokkan arah menuju kampus yang dulu pernah menarik perhatian saya ini. Sebenarnya, alasan utama bertandang ke UGM itu kami butuh masjid terdekat. Selepas ashar dan menjepret beberapa gambar di lingkungan Masjid Kampus UGM, kami pun bertolak menuju Taman Sari Water Castle. Namun sayangnya tempat wisata tersebut sudah tutup untuk hari itu. Terlalu sore memang, hampir pukul 15.30 kami baru sampai di sana.

Kecewa karena tidak bisa mengunjungi Taman Sari, akhirnya kami pun berbalik arah ke Alun-alun Kidul. Menjelang maghrib itu kami habiskan waktu untuk bermain-main di tengah Alun-alun. Di sana, terdapat dua pohon beringin besar. Mitosnya, siapa yang berhasil berjalan ke arah tengah diantara dua pohon tersebut dan  kemudian melewatinya dengan mulus, maka keinginannya akan terkabul. Meskipun saya tidak percaya dengan mitos tersebut, tetapi tetap mencobanya. Satu demi satu dari kami bergantian mencoba tantangan tersebut dan hasilnya tidak ada satupun dari kami yang berhasil.

Nyaris berhasil melewati dua beringin
Malamnya kami tidak pergi mencari makanan berat seperti nasi dan sejenisnya karena masih merasa kenyang akibat makan siang yang terlambat. Akhirnya kami terdampar di salah satu angkringan kopi joss di Jalan Pangeran Mangkubumi. Di saat teman-teman yang lain memperpanjang waktu ngopi sambil istirahat di angkringan, saya dan seorang teman memutuskan untuk berjalan kaki sebentar melewati Stasiun Tugu dan menyeberangi rel kereta menuju Jalan Malioboro, menikmati Jogja malam hari dan mengambil beberapa gambar diri di sana. Tidak lama ponsel di dalam saku berdering. Ternyata teman-teman saya sudah ingin kembali ke penginapan dan merebahkan diri di atas kasur.

Day 3

Hari terakhir kami di Kota Angkringan, Senin, 28 Mei 2012, menjadi hari wisata sejarah dan belanja. Setelah sarapan, kami langsung check-out dari penginapan. Ransel-ransel kami telah tertumpuk rapi di dalam mobil dan siap menikmati hari terakhir di Jogja. Hanya ada dua tempat tujuan hari ini: Taman Sari dan Malioboro. Walaupun kemarin tidak sempat ke Taman Sari, akhirnya hari ini kami bisa menyambangi tempat istirahat sultan di jaman dulu itu. Hari ini tidak ada penunjuk jalan lagi karena si supir kami yang kece sudah hafal jalanan Jogja setelah dua hari menjadi 'penduduk Jogja'.

Di taman sari, kami ditemani seorang bapak yang menjadi tour guide. Selama perjalanan melihat-lihat Komplek Taman Sari Water Castle, bapak ini menceritakan sejarah yang terjadi di dalamnya. Yang paling saya ingat adalah sejarah di kolam pemandian sultan. Ada sebuah bangunan kecil namun tinggi diantara kolam sultan dan kolam para selirnya. Nah, biasanya sultan melemparkan bunga dari atas bangunan tersebut ke kolam selir, siapa yang mendapat bunga tersebut maka ia yang menemani sultan berenang-renang di kolam sultan. Lucu dan unik tradisinya. Selain cerita jaman dulu yang dikisahkan oleh si bapak, ia juga menjelaskan nama-nama dan fungsi bangunan yang ada di sekitarnya, baik itu fungsinya di jaman dulu maupun saat ini.

Lumayan lama kami berputar-putar di kawasan Taman Sari ini. Tidak terasa waktu telah menunjukkan sedikit lewat dari tengah hari. Selepas dzuhur, tujuan kami tinggal satu: Malioboro. Karena bukan akhir pekan, kami dengan mudah mendapat tempat parkir di kawasan perbelanjaan yang padat ini. Sebelum mulai hunting oleh-oleh, kami menyempatkan diri makan pecel di depan Pasar Beringharjo. Enak dan murah tapi enggak murahan. Barulah setelah makan, kami berburu oleh-oleh khas Jogja. Dari mulai baju, celana, barang-barang berbau batik, perak Jogja, hingga bakpia dan lanting. Kegiatan berburu oleh-oleh ini benar-benar menguras kantong. Maklum, namanya juga belanja.

Entah ada angin apa, dari kawasan Malioboro kami pun berjalan kaki hingga ke Jalan Jenderal Sudirman. Lelah mulai terasa. Sambil beristirahat, sebagian teman pun menyempatkan diri untuk mengabadikan gambar Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 dan sekitarnya. Dari sana, kami lanjut berjalan kaki menuju taman pintar. Alasannya masih sama seperti ke UGM kemarin, butuh masjid. Pukul 17.00 berpetualang menenteng belanjaan sambil berjalan kaki ini dilanjutkan kembali ke kawasan Malioboro dengan jalan memutar, membuat kaki lelah melangkah.

Tanpa terasa, petualangan kami pun telah mencapai unjungnya. Akhirnya, selepas maghrib dan mengisi perut, kami langsung bertolak menuju Stasiun Lempuyangan Jogja. Di sana, seseorang telah menunggu kami untuk mengambil mobilnya kembali. Setelah mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan ber-dadah-ria, kami pun memasuki stasiun dan menunggu kereta menuju Bandung. Terhitung dari Senin, 28 Mei 2012 pukul 20.30 hingga Selasa, 29 Mei 2012 pukul 08.00 kami terkurung di dalam kereta menikmati perjalanan pulang ke Bandung sambil ngemil, mengobrol dan sebagian besar waktu digunakan untuk tidur.

Selesai sudah petualangan kami di Kota Angkringan. Tapi kami rindu Jogja yang panas. Kami rindu Jogja yang jarang terdengar suara klakson kendaraan bermotor. Kami rindu petualangan kami. Kembali ke Bandung, kembali merasakan sejuknya Bandung yang tidak sesejuk dulu, kembali dengan segudang kegiatan perkuliahan dan himpunan.

- Filia -

Comments

aku belum pernah nyobain sate keong :D kaya apa itu yah.. waktu itu pernahnya sate kelinci doang.
.a said…
asik banget 'o'
Unknown said…
Aaaaak seru bangeeet, jadi pengen cepet-cepet liburan >.<
Filia said…
uci cigrey: kalo pernah nyobain tutut sebelumnya, pasti ga akan aneh dgn rasa sate keong ini. tapi lebih enak lagi sate kerangnya kalo menurut saya kak

Popular Posts

Drunken Series

UNO

Peucang, Surga di Ujung Barat Pulau Jawa (Bagian 3)