Skip to main content

Memasyarakatkan Mahasiswa



Enggak pernah terpikir sedikitpun untuk terjun langsung menjadi aktris untuk menjalani kehidupan di sebuah wilayah terpencil sampai akhirnya saya mengikuti sebuah kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) di Himpunan Jurusan (HIMA) Pendidikan Bahasa Jerman atau yang lebih dikenal dengan Deutschstudentenverban (DSV) pada 23-28 Januari 2011.

Ada sesuatu yang menggelitik hati saat pertama kali mendengar P2M 2011 diadakan di Kampung Bayongbong, Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Bandung.
FYI, lokasinya ada di daerah Ciwidey yang dingin dan merupakan daerah wisata. Awalnya sempat ragu buat ikutan, padahal udah terlanjur masuk ke dalam kepanitiaan inti sebagai HUMAS. Tapi setelah ngasih pengertian panjang lebar ke orang tua akhirnya memutuskan liburan semester ganjil ini enggak pulang ke Serang dan bermaksud belajar mengabdikan diri pada masyarakat.
kebun teh yang mengelilingi desa bayongbong

Jangan dikira P2M itu kegiatan liburan seperti hiking, di sana kita dituntut untuk lebih dari itu. Pertama kali menginjakkan kaki di Rancabali hal yang terpikir adalah hijau, dingin, asri dan masih kental unsur pedesaannya. Mungkin karena lokasinya dikelilingi bukit-bukit rendah dan hamparan kebun teh, tidak heran mata pencaharian warga di sini adalah petani perkebunan teh. Jalanan sudah diaspal, menunjukkan bahwa kawasan ini sering dilalui wisatawan. Listrik juga sudah ada, yang disayangkan adalah tidak adanya lampu penerang jalan, sehingga ketika malam tiba suasananya menjadi horror dan gelap gulita. Cahaya hanya ada dari lampu-lampu rumah warga yang seadanya dan itupun kalau me
nurut saya enggak akan bisa menerangi pejalan kaki. Alhasil harus selalu membawa senter kalau malam. Selain itu, enggak jarang juga kejadian seperti bertemu makhluk halus sudah menjadi hal lumrah di sini.

Disambut oleh Bapak Sekdes di balai desa kemudian setelah itu tibalah kita di rumah inap di kampung Bayongbong. Kondisi rumahnya tidak kumuh namun yang mencengangkan adalah antara rumah yang satu dengan lainnya hanya disekat dengan papan triplek atau bilik bambu. Lantainya dari semen dan beralaskan karpet plastik. Tapi masing-m
asing rumah memiliki halaman yang rapih dengan dibatasi pagar seadanya yang terbuat dari batang kayu kecil-kecil. Halamannya dipenuhi dengan tanaman cabai, tomat dan sayuran. Dapurnya masih menggunakan tungku dan kamar mandinya tidak memiliki kloset. Namun ada sebagian rumah yang sudah memiliki toilet pribadi sehingga tidak perlu ke toilet umum untuk menunaikan panggilan alam. Untuk air, sepertinya langsung dialirkan dari sumbernya dengan menggunakan paralon.
keadaan rumah warga

Hari pertama tiba di sana enggak begitu banyak kegiatan yang dilakukan. Hanya diisi kegiatan perkenalan dengan warga kampung Bayongbong serta mengajar mengaji anak-anak kecil dan remaja selepas maghrib. Malam pertama pun masih belum bisa beradaptasi dengan udara yang dingin menusuk tulang. Apalagi ketika harus bangun pukul 03.00 dan harus mandi di kamar mandi umum, di mana tembok kamar mandinya hanya setinggi dada dan beratapkan seng. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi saya dan teman-teman yang mandi di alam terbuka ditemani dinginnya udara di daerah perkebunan teh bercampur air yang dinginnya seperti baru dikeluarkan dari kulkas ditambah belaian lembut angin dini hari. Bukan lagi menggigil, tapi rasanya kaki mulai kram, gigi bergemeletukkan dan tubuh bergetar hebat. Tapi anehnya saya malah mengguyur tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki setelah awalnya sempat ragu dan berpikir untuk mengajar ke sekolah tanpa mandi hehehehe...

Kegiatan utama mahasiswa angkatan 2010 setiap harinya adalah mengajar murid Sekolah Dasar (SD) pada pagi hari dan mengajar mengaji selepas maghrib. Siang hingga sorenya kegiatan beralih dari yang berhubungan dengan pendidikan ke kegiatan sosial. Mulai dari membereskan masjid secara keseluruhan, membuat sebuah pondok bacaan untuk anak-anak di lingkungan kampung Bayongbong hingga mengadakan bazaar pakaian dan sembako murah. Bukan, kalau murah kurang tepat. Lebih tepatnya adalah amat sangat murah.

Dari berbagai kegiatan tersebut yang paling saya nikmati adalah mengajar murid SD. Jujur, sebelum ini enggak pernah terpikirkan sedikitpun untuk mau mengajar di tingkat dasar. Kenapa? Karena saya pernah merasakan masa-masa SD yang mana muridnya selalu membuat guru kerepotan. Tapi pikiran dangkal seperti itu langsung berubah hingga merasakan bagaimana rasanya menjadi guru SD. Mereka, murid-muridnya, masih lugu. Saya kebagian mengajar dengan seorang teman yang untungnya teman sekelas di kampus. Jadi enggak susah buat berkolaborasi. Awal mengajar ada rasa canggung yang menyergap. Tapi begitu merasakan hangatnya sambutan dari murid-murid lugu ini, kami berdua langsung bisa menguasai kelas. Ehm, sebenarnya enggak tepat juga dibilang
'kami'. Karena awalnya saya sempet speechless dan enggak tau harus gimana. Tapi untungnya teman yang satu ini tau bagaimana mencairkan suasana menjadi lebih santai.
suasana KBM

Selanjutnya, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) adalah kegiatan yang paling menarik minat saya di sini. Jangan dikira kami mengajar bahasa jerman sesuai dengan jurusan yang diambil. Bukan, bukan. Kami mengajar materi SD sebagai mana mestinya. Hanya saja, 70% dari jam belajar digunakan untuk menciptakan permainan di dalam kelas, memberi motivasi, menyadarkan mereka mengenai pentingnya kebersihan dan sedikit selipan memperkenalkan bahasa jerman seperti halnya memperkenalkan angka, salam serta lagu anak-anak berbahasa jerman. Kenapa belajarnya hanya 30%? Karena mereka di sini butuh motivasi untuk melanjutkan sekolah. Banyak dari warga di sini yang enggak bisa mencicipi bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bukan faktor ekonomi masalah utamanya, tapi faktor motivasi tadi. Mereka kurang termotivasi untuk meraih gelar pendidikan yang lebih tinggi. Selepas SD mereka malah membangun rumah tangga bukannya melanjutkan sekolah. Sangat disayangkan jika murid yang kami ajar nantinya demikian, padahal sebenarnya mereka pintar-pintar dan banyak memiliki cita-cita. Ada yang ingin menjadi guru, tentara, pramugari, peternak, polisi, dokter, pemain sepak bola sekelas Cristiano Ronaldo dan masih banyak lagi.

Segala bentuk pengajaran, permainan maupun motivasi spontan kami lakukan tanpa persiapan. Gimana ceritanya mau ngadain persiapan, kalau baru tau siapa partner mengajar dan kelas berapa yang akan diajar aja semalam sebelum mengajar. Tapi dari segala bentuk spontanitas itulah akhirnya saya bisa mengerti bahwa yang terpenting dari seorang guru adalah bukan bagaimana dia menguasai materi, melainkan menguasai kelas. Jika seorang guru telah berhasil menguasai kelas, maka materi akan dengan sendirinya mengalir dan diserap oleh para muridnya. Namun sebaliknya, jika seorang guru hanya menguasai materi dan enggak bisa menguasai kelas maka yang terjadi adalah muridnya akan merasa bosan dengan apa yang diajarkan gurunya dan perhatian mereka akan beralih pada hal lain. Dengan kata lain, murid enggak bisa menyerap materi sehebat apapun guru itu menguasai materi.

Kebetulan saya kebagian mengajar murid kelas 5. Bisa dibayangkan materi kelas 5 bukan lagi pengurangan atau penambahan. Mengingat saya punya adik yang tepat saat ini duduk di bangku kelas 5 SD. Seringnya ditanya berbagai macam hal mengenai tugas si adik ini, ada untungnya juga jadi lumayan tau materi apa yang sedang dipelajari murid kelas 5. Bukan hanya itu, seringnya menjemput adik ke sekolah saat libur kuliah dan harus menunggu di depan kelasnya karena KBM belum selesai juga memberi sedikit bayangan bagaimana caranya mengajar murid kelas 5 SD. Tapi tempat berkata lain. Lain di kampung, lain di kota. Murid kelas 5 SD di kampung dengan di kota ternyata berbeda. Mereka, anak-anak di Bayongbong ini, masih terbilang lugu untuk anak seusianya. Beda dengan adik saya yang ada di Serang, yang udah mengenal apa itu internet sehingga media belajar maupun bermain telah bergantung pada hal ini. Maka di sini saya harus mengajar dengan lebih lembut dan pelan, enggak bisa menyamakan mereka dengan adik sendiri yang padahal usianya sama. Adik saya udah bisa diajak diskusi masalah politik yang ringan, tapi anak-anak di sini enggak bisa. Pola pikir mereka berbeda. Mereka terlalu lugu dan masih sangat anak-anak.

Namun mereka di sini juga sudah mengenal alat komunikasi bernama
handphone (hp). So, enggak aneh mereka minta nomor hp guru-gurunya ini supaya tetap bisa berkomunikasi saat kami udah enggak ada di sana. Sampai saat ini, mereka masih suka meng-sms setiap pagi dan mengucapkan 'Guten Mogen'. Enggak jarang juga saat siang, sore atau malam harinya mereka meng-sms, "Kak, lagi ngapain?" kemudian mereka curhat bagaimana kegiatan sekolah setelah kami kembali ke peradaban kota.
suasana saat gebyar pendidikan

Hanya empat hari mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jerman '10 dari Universitas Pendidikan Indonesia ini mengajar. Tapi rasanya saat perpisahan seperti kami telah mengajar bertahun-tahun. Mereka semua menangis, enggan melepas kepergian kami. Kami, saya dan teman mengajar di kelas 5, telah berhasil membuat 27 anak menangis. Anak-anak ini juga berhasil menyentuh hati kami, membuat kami terharu dan ikut menangis bersama mereka. Mereka berkata, "Kak, jangan pergi. Kalau kakak pergi nanti kita sama siapa?"

Kalimat itu kontan membuat kaget. Segitu berartinyakah kami bagi mereka? Bukan hanya murid-murid SD ini yang menahan hati kami, tapi masyarakat Bayongbong lainnya juga. Mereka menginginkan kami tetap di Bayongbong agar anak-anak mereka bisa seperti kami, mengenakan jas almamater perguruan tinggi. Agar anak-anak mereka punya motivasi belajar yang tinggi hingga bisa duduk di salah satu bangku perguruan tinggi di negeri ini.

Rasa haru menyelimuti hati kami. Enam hari keberadaan kami di Bayongbong ternyata berhasil mengisi hati para warga. Empat hari usaha kami mengajar ternyata mendapat respon yang sangat bagus dari anak-anak dan para orang tua ini, respon mereka lebih dari yang kami duga dan lebih dari yang kami harapkan. Hangat. Sangat hangat.

Banyak pengalaman hidup yang saya dapat di Bayongbong. Terlalu banyak bahkan.
Kata 'terima kasih' mungking enggak cukup untuk membalas apa yang telah mereka ajarkan.


- Filia -

Comments

ifdal_soexrie said…
likethis dah. sering2 aja ngadain kegiatan kyak gini, kalo bisa joint ama anak informatika uii :D
Rinda said…
fiaaaa...
samaaa kk juga kangen banget kesini lagi plus fianya dunkkk
gpp fi mening pentingin dulu kuliah daripada hobi ngeblog ~_~
kk juga g sering kya dlu nie, mungkin kl udah dapet gelar S1 bisa punya byk wqt ~_~
Ria Nugroho said…
ih seru banget ya bisa ke desa dan mengajar jg disana ^____^
pastiny jadi pengalaman yg gak terlupakan yaa
Ikrimmah said…
bentar lagi sayaaa.. huwaaaaa.. sedih buat keprgiannya pastinya teh,, :(

Popular Posts

Drunken Series

UNO

Peucang, Surga di Ujung Barat Pulau Jawa (Bagian 3)